Welcome to my blog :)

rss

Rabu, 25 Juli 2012

21 Tahun Menuju Universitas Indonesia

Terlahir dari keluarga sederhana tak membuat Amir mudah menyerah dalam menggapai cita-cita. Sebuah dusun kecil dimana ia lahir cukup banyak menempa pribadinya untuk selalu berfikir kritis. Sulitnya perekonomian waktu itu pula yang mengajarkan ia harus kreatif agar tetap exist. Nasi jagung dan nasi tiwul merupakan santapan yang tidak asing lagi di lidahnya.. sampai kapan ??

Menginjak kelas 2 SD ia di bawa pindah oleh kedua orang tuanya untuk hijrah agar ayahnya tidak jauh dalam menempuh jarak kerjanya. Ya.. lingkungan Perkebunan Karet salah satu Joint Venture Indonesia Belanda yang di beri nama PT. Tatar Anyar Indonesia.

Lingkungan baru dengan peradaban baru membuat ia banyak berfikir dan merenung. Hmmm enaknya tinggal di rumah dinas, beras dapat jatah, minyak tanah pun juga dapat bagian bahkan sarana sosialpun terpenuhi. mulai dari lapangan bola, lapangan voley, kolam renang sampai tempat ibadah beserta guru ngajinya juga sudah tersedia. Kurang apa coba ??

Tapi ada yang janggal menurutnya. Jika memang semua terpenuhi kenapa lingkungan tempat ia tinggal jauh dari sejahtera... Seringnya ia dengar pertengkaran antar keluarga dan juga budaya masyarakat setempat yang jauh dari agama sungguh sangat miris melihatnya. Ketika seseorang punya hajat pernikahan, khitanan, kelahiran anak bahkan sampai ada kematian tidak ada hiburan lain kecuali judi... hmm..aneh !

Amir kecil berfikir keras.. kenapa dan kenapa.. bisa demikian, kenapa juga masyarakatnya tidak ada yang termotivasi untuk bersekolah.. oh.. ternyata ada jaminan kerja yang di berikan oleh perkebunan. Dan ternyata di lingkunagan ini mulai dari buyutnya, kakeknya dan orang tuanya sudah turun temurun bekerja di perkebunan ini.. pantesan mereka tidak mau bersekolah.. toh sekolah tinggi-tinggi juga banyak yang menganggur buat apa capek-capek buang tenaga dan biaya.

Dalam benaknya lingkungan tercipta sedemian rupa karena satu hal. Ya.. minimnya pendidikan sehingga mempersempit pola pikir lingkungannya. Sejak itulah ia bertekad agar bisa bersekolah setinggi mungkin. Agar ia punya pola pikir dan wawasan yang cukup luas sehingga ia bisa menjadi apa yang ia cita-citakan.

Berjibaku menjadi seorang karyawan perkebunan dengan segala keterbatasan plus berpuluh penghinaan dari lingkungan itulah yang mendorong semangat Amir hingga akhirnya ia bisa lulus perguruan tinggi swasta. Meski ketika ia lulus dari satu sekolah tahun 1991 ia ingin melanjutkan ke Universitas Negri belum kesampaian tapi ia patut berbangga bahwa setelah 21 tahun kemudian Sang Junior kini di terima di Universitas Indonesia salah satu Universitas yang ia dambakan sejak dulu kala.

Dan dari jejaknya itulah banyak diikuti para tetangga yang berlomba-lomba menyekolahkan anak-anak mereka hingga ke perguruan tinggi. Mungkin Amir tidak bisa merubah ekonomi lingkungannya tetapi ia bisa mendobrak pola pikir sempit dan memberikan contoh bahwa dengan bersekolah akan menjadi orang yang berilmu, dengan ilmu itulah yang akan menerangi kehidupan generasi-generasi berikutnya.

Ketika seorang kakek di tanya : " Kek, kakek kan sudah renta.. kenapa masih menanam pohon kelapa, kek ?? Jawab si kakek. "Ketika buah kelapa ini bisa di petik buahnya mungkin aku sudah tidak ada, tetapi anak cucukulah yang akan menikmatinya".

Sahabat janganlah berputus asa apabila kita terlahir dari keluarga sederhana itu bukan salah kita, Tetapi Tuhan tidak pernah membatasi keinginan setiap hambanya. Kemiskinan bukanlah takdir, tapi pilihan, jika kita ingin hidup kayapun Tuhan sudah siapkan harta yang berlimpah tinggal seberapa banyak kita sanggup untuk mengambilnya dan seberapa kuat kita melawan kemalasan. Jika kita terlahir miskin tetapi kita tidak boleh mewariskan kemiskinan itu kepada anak cucu kita.